Upaya pengendalian iklim harus dilakukan secara konsisten, terus menerus dan melibatkan semua pihak mulai dari pembuat kebijakan, pelaku usaha, hingga masyarakat di tingkat tapak.

Demikian mengemuka pada “International Seminar & Conference on Climate and Sustainable Development” yang digelar secara hibrid di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), Rabu 23 Maret 2022.

Seminar yang diselenggarakan oleh Sekolah Kajian Stratejik Global (SKSG) Universitas Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Provinsi Kalbar dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Gubernur Kalbar Sutarmidji menyatakan aksi pengendalian perubahan iklim tidak bisa dilakukan hanya pada jangka waktu tertentu saja. Padahal kerusakan lingkungan yang juga berdampak pada perubahan iklim terus berlangsung.

“Upaya pengendalian perubahan iklim harus terus-menerus dilakukan seiring dengan pembangunan berkelanjutan,” kata dia.

Dia menyatakan saat ini Indonesia sebagai salah satu pemilik hutan tropis terluas di dunia adalah benteng dari perubahan iklim. Untuk mempertahankan hutan, Kalbar terlibat dalam berbagai insiatif di tingkat nasional maupun Internasional seperti Governor Climate and Forest (GCF) Task Force.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dewanthi menjelaskan hasil konferensi perubahan iklim yang digelar di Glasgow, Skotlandia akhir tahun 2021 lalu mendesak semua Negara melakukan aksi kolektif untuk mempercepat upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Indonesia sudah berkomitmen untuk mencapai penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 41% pada tahun 2030 mendatang dengan dukungan internasional. Selain itu Indonesia juga sudah mendaftarkan dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) tahun 2050.

Berdasarkan dokumen tersebut Indonesia menargetkan untuk mencapai FoLU Net Sink pada tahun 2030.  Berarti, kata Laksmi tingkat serapan emisi sektor FoLU (Forest and other Land Use/hutan dan penggunaan lahan) ditargetkan sudah berimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisinya.

“Sektor FoLU ditargetkan dapat menurunkan hampir 60% dari total target penurunan emisi nasional,” kata Laksmi.

Selanjutnya, setelah 2030 Sektor FoLU ditargetkan sudah dapat menyerap GRK bersamaan dengan kegiatan penurunan emisi dari aktivitas transisi energi atau dekarbonisasi serta kegiatan eksplorasi sektor lainnya untuk mencapai netral karbon/net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menyatakan anggota APHI siap mendukung tercapainya komitmen pemerintah untuk pengurangan emisi GRK dengan menerapkan multiusaha kehutanan.

“Jadi pemanfaatan hutan tidak hanya kayu saja tetapi juga pemanfaatan bukan kayu berupa kegiatan-kegiatan usaha yang bisa mencegah emisi dan menyerap GRK,” katanya.

Kegiatan tersebut misalnya implementasi silvikultur intensif, pembalakan rendah dampak (Reduced Impact Logging), pengayaan hutan, pengelolaan dan restorasi gambut, serta agroforestry.

Indroyono menyatakan pelaku usaha akan mendukung pelaksanaan aksi mitigasi untuk  mencapai target NDC.  Berdasarkan perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai target yang dicanangkan mencapai Rp204 triliun. Sekitar 55% dari kebutuhan tersebut diharapkan datang dari pihak swasta.

Indroyono melanjutkan, pihak swasta yang terlibat dalam aksi mitigasi perubahan iklim diharapkan mendapat insentif melalui kebijakan carbon pricing yang telah dtetapkan pemerintah.

“Pada sektor kehutanan, capaian pengurangan emisi dan penyerapan GRK, diharapkan mendapat insentif melalui perdagangan karbon,” kata Indroyono.

Sementara itu Profesor Miroslaw Matyja dari University of Bologna, Italia menyatakan soal pentingnya demokrasi dalam pengendalian perubahan iklim.

Menurut dia demokrasi bisa memastikan terpilihnya pemerintahan yang berkomitmen pada pengendalian perubahan Iklim.

Profesor Jatna Supriyatna dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia mengingatkan perubahan iklim saat ini adalah salah satu isu yang paling besar di dunia karena dampaknya yang luas bagi masyarakat dunia.

“Kenaikan suhu sebanyak 2 derajat akan menghilangkan hutan, sumber pangan, dan perikanan,” katanya. *