Negara-negara di dunia diserukan untuk segera mengimplementasikan kesepakatan yang sudah dicapai untuk mencegah bencana perubahan iklim. Sementara pelibatan semua aktor non-pemerintah harus dilakukan termasuk mengundang sektor swasta untuk berinvestasi pada aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Hal ini menjadi pembahasan saat penyerahan tongkat estafet Presidensi COP UNFCCC dari Pemerintah Kerajaan Inggris ke Pemerintah Mesir di sela perhelatan the 17th Sessions United Nation Forum on Forest (UNFF-17) di markas besar PBB, New York, Selasa 10 Mei 2022.

Hadir pada kesempatan tersebut Plt. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Ruandha Agung Sugadirman, yang juga merupakan Wakil Ketua Delegasi RI pada UNFF-17.

Dalam kesempatan tersebut terungkap data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa temperatur bumi semakin terus meningkat bahkan tercatat telah mencapai rata-rata suhu tertinggi sepanjang sejarah, setelah penyelenggaraan konferensi perubahan iklim (COP) 26 di Glasgow, Inggris, November 2021 lalu.

Untuk itu jelang penyelanggaraan COP27 di Mesir akhir tahun ini, Lead Negotiator COP27 Mohamed Nasr meminta semua Negara mengimplementasikan kesepakatan yang sudah dicapai.

Pada COP26 telah dicapai Glasgow Climate Pact. Beberapa poin penting dari kesepakatan itu adalah setiap Negara harus beraksi nyata untuk melakukan adapatasi dan mitigasi sesuai dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah disampaikan; mendesaknya peralihan dari penggunaan bahan bakar fosil; perlunya Negara maju untuk menyediakan pendanaan bagi Negara berkembang; dan perlunya kolaborasi semua aktor.

Menurut Nasr, pengendalian perubahan iklim tidak bisa dilakukan sendirian dan sesungguhnya merupakan proses multilateral.

Sementara itu terkait dengan aksi yang dilakukan oleh Indonesia dalam pengendalian perubahan Iklim, Ruandha menjelaskan Indonesia sudah melakukan sejumlah aksi kongkret dalam pengendalian perubahan iklim.

Dalam dokumen NDC yang telah diperbarui (Updated NDC), Indonesia menargetkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030 mendatang dibandingkan dengan praktik biasa (business as usual/BAU).

Indonesia juga sudah menyampaikan dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) tahun 2050.

Berdasarkan dokumen ini, puncak emisi GRK Indonesia dirancang terjadi pada tahun 2030 sebanyak 1.244 juta ton setara karbon dioksida (CO2e)  untuk kemudian turun menjadi 540 juta ton CO2e pada tahun 2050. Kemudian pada tahun 2060, Indonesia diproyeksikan bisa mencapai Net Zero Emission dimana penyerapan GRK lebih tinggi dibanding emisinya.

Pencapaian target tersebut akan ditunjang dari aktivitas dekarbonisasi dari sektor energi, industri, transportasi, pertanian, dan pengelolaan limbah dan sampah. Enam puluh persen dari target tersebut akan bersandar pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forest and Other Land Use/FOLU).

“Indonesia berkomitmen untuk mencapai FoLU Net Sink pada tahun 2030,” kata Ruandha.

FoLU Net Sink berarti penyerapan GRK sudah sama atau lebih banyak dibandingkan emisinya dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan.

Dalam FoLU Net Sink, penyerapan GRK dari sektor kehutanan ditargetkan sebesar 140 juta ton CO2e dan kemudian meningkat menjadi 304 juta ton setara CO2 pada tahun 2050.

Ruandha juga mengatakan, untuk memastikan FoLU Net Sink tercapai, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah menandatangani dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FoLU Net Sink 2030. “Dokumen Rencana Operasional ini memandu apa yang harus dilaksanakan oleh semua aktor secara kolaboratif,” katanya.

Untuk mencapai FoLU Net Sink, dibutuhkan investasi sebesar 14,57 miliar dolar AS atau sekitar Rp 204 triliun. Menurut Ruandha, kebutuhan pembiayaan tersebut bisa berasal dari berbagai sumber konvensional seperti APBN, APBD, atau investasi swasta maupun melalui potensi valuasi karbon.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo mengatakan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) siap mendukung tercapainya Indonesia FoLU Net Sink.

Komitmen pelaku usaha penting karena berdasarkan perhitungan, dari kebutuhan investasi sebesar 14,5 miliar dolar, sebesar 55%  atau sekitar 8 miliar dolar harus dimobilisasi dari sektor swasta.

Menurut Indroyono, pelaku usaha bisa memanfaatkan pendanaan investasi dari pemanfaatan nilai ekonomi karbon untuk mendukung kegiatan aksi mitigasi dalam pengelolaan  hutan yang sesuai dengan Rencana Operasi Indonesia’s FoLU Net Sink. ***