Kawasan hutan di Indonesia seluas 125 juta ha atau 65 % dari total luas daratan, namun demikian hanya memberikan kontribusi PDB sebesar 0,65%. Menurut Prof. Dodik Nurrochmad (2020), nilai riil lahan hutan sangat rendah, hanya sebesar Rp. 400/m2, dibandingkan sawah Rp. 1.500/m2, sawit Rp. 3.800/m2, perumahan Rp. 40.000/m2 dan hortikultura Rp. 48.000/m2. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menaikkan peranan sektor kehutanan dalam pembangunan Indonesia melalui pemanfaatan lahan hutan, antara lain melalui kegiatan multiusaha kehutanan.

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah menginagurasi multiusaha kehutanan sebagai back bone perekonomian baru Indonesia pada 10 Mei 2019 lalu. Multiusaha Kehutanan diharapkan dapat mendorong peningkatan produktivitas lahan hutan, sebagai jaring pengaman pangan nasional, pengembangan industri pengolahan, peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan hutan dan juga sebagai upaya resolusi konflik lahan.

 

Pengembangan model bisnis multiusaha kehutanan yang inklusif dalam pengelolaan hutan saat ini memperoleh momentum yang tepat dengan terbitnya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Melalui UU ini, Perhutanan Sosial dan pengelolaan hutan berbasis 1 izin berusaha untuk memanfaatkan multiusaha kehutanan yang meliputi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan kawasan dan jasa lingkungan, mendapat payung kebijakan yang kuat. Demikian disampaikan Ketua Umum APHI, Indroyono Soesilo pada webinar “Membangun Bisnis Model Multiusaha Kehutanan Yang Inklusif dan Berkelanjutan” pada Kamis (19/11).

 

Webinar yang diselenggarakan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Lembaga Kemitraan dengan narasumber dari Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Franciscus Welirang; Direktur Perhutanan Sosial, Perum Perhutani, Natalas Anis Harjanto; Direktur Utama PT Silva Inhutani Lampung, Djunaidi Nur; Direktur Utama PT. Kampung Kearifan Indonesia (JAVARA), Helianti Hilman; dengan pembahas Prof. Dodik Ridho Nurrochmat dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor; dan moderator Brigita Manohara.

Webinar ini dalam rangka memberi masukan untuk implementasi Perhutanan Sosial dan Multiusaha Kehutanan sebagai tindak lanjut terbitnya UU Cipta Kerja, serta merumuskan pola dan bisnis model  multiusaha kehutanan melalui Kemitraan Kehutanan antara pemegang izin/pengelola hutan dengan kelompok masyarakat yang berada di dalam dan sekitar areal kerjanya, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan resolusi konflik lahan.

 

Indroyono menjelaskan bahwa untuk mengintegrasikan fungsi produksi, ekologi dan sosial dalam pengelolaan hutan, khususnya oleh pemegang izin/pengelola hutan, maka pendekatan inklusif menjadi sebuah keniscayaan pada masa mendatang.

 

“Model bisnis inklusif dalam pengelolaan hutan dimaknai sebagai pendekatan bisnis yang memberikan solusi inovatif, sistemik dan mengembangkan manfaat dan nilai bersama (creating shared value) secara berkelanjutan dalam rantai nilai bisnisnya bersama dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar areal kerjanya” ungkap Indroyono.

 

Lebih lanjut, Indroyono menyampaikan, pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi di dalam areal izin usaha perlu dioptimalkan. Oleh karena itu, orientasinya tidak hanya pemanfaatan hasil hutan kayu saja, tetapi pemanfaatan potensi kawasan lainnya seperti hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Model multiusaha kehutanan yang inklusif dan berkelanjutan sangat potensial menjadi solusi bisnis di tengah menurunnya kinerja sektor usaha kehutanan di tengah pendemi Covid-19.

 

Dengan terbitnya UU Cipta Kerja, model multiusaha kehutanan dapat dikembangkan melalui Kemitraan Kehutanan, sehingga menjadi wahana kerjasama yang saling menguntungkan antara pemegang izin/pengelola hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitarnya, yang mencakup tidak saja aspek budidayanya, tetapi juga pengolahan dan pemasaran hasilnya.

 

“PermenLHK No. P.62/2019 tentang Pembangunan HTI yang membuka peluang pemanfaatan berbagai komoditas kehutanan, dapat lebih dikembangkan ke depan sejalan dengan terbitnya UU Cipta Kerja, sehingga pola Kemitraan Kehutanan menjadi lebih menarik” pungkas Indroyono.

 

Webinar mengenai multiusaha ini merupakan rangkaian kegiatan Pra-Raker APHI. Raker APHI 2020  diselenggarakan pada tanggal 2-3 Desember 2020. Kegiatan ini menjadi langkah awal bagi APHI dan Kemitraan untuk membangun kolaborasi dalam mengimplementasikan pengelolaan hutan yang inklusif,  berkeadilan dan  berkelanjutan melalui skema yang disepakati bersama. (*)