Forum internasional yang mengambil tema Together Toward Global Green Supply Chains – A Forest Products Industry Initiative, diselenggarakan di Shanghai-Huzhou China pada tanggal (22-25/10). Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia yang diwakili Badan Penasehat APHI Irsyal Yasman diundang ITTO dan menjadi salah satu panelis pada forum tersebut.

Pada kesempatan tersebut, Irsyal Yasman menjadi salah satu Panelis pada Sesi “Harnessing the role of wood industry sector for climate change and development”. Moderator pada sesi ini Claude Garcia dari CIRAD/ETH Zurich ForDEv dengan pembicara kunci Executive Director ITTO Yokohama Gerhard Dieterle.

Forum internasional ini bertujuan untuk mempromosikan kemajuan dalam aspek legal dan keberlanjutan dalam bisnis kehutanan, yang akan memberikan dorongan bagi pratik-praktik yang baik dalam berproduksi sehingga dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, sekaligus sesuai dengan upaya mitigasi perubahan iklim. Lebih spesifik dibahas juga bagaimana peran hutan produksi dan industri perkayuan dalam perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Dalam presentasi sebagai Keynote speaker Direktur Eksekutif ITTO Gerhard Dieterle menyampaikan bahwa hutan tropis mempunyai net release dari Karbon sebesar 425.2 giga tone C per tahun, yang dihitung dari kehilangan (losses) 861.7 gT C per tahun, dan penambahan (gain) 436.5 gT C per tahun dari pertumbuhan hutan. “ Dan jika dihitung lebih lanjut dari hasil deforestasi dan degradasi hutan maka secara keseluruhan kita kehilangan sekitar 68.8 persen” sebut Gerhard.

Hutan dan industri kayu memegang peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Laporan khusus dari IPCC 2019 menyatakan bahwa hutan yang dikelola secara berkelanjutan  dan produk-produk kayu merupaka elemen kunci untuk mitigasi perubahan iklim, dan lebih lanjut dengan bio-based circular economy akan mengangkat CO2 dari udara, dan kemudian menyimpannya dalam bentuk carbon sink, sementara itu hasil produk kayu dapat menggantikan sumber-sumber bahan yang non-renewable energy. “Tetapi semua ini hanya akan berfungsi dengan baik apabila sumber-sumber bahan baku dan hutannya dikelola dengan cara berkelanjutan (sustainable) yang dimulai dari pengelolaan hutan sampai ke pengelolaan pasar” ujar Gerhard.

Mendukung pernyataan Gerhard Dieterle, anggota Badan Penasehat APHI, Irsyal Yasman menyampaikan pentingnya Sustainable Forest Management (SFM) dan pengembangan hutan tanaman dalam konteks mitigasi perubahan iklim. Sayangnya dalam forum-forum negosiasi di UNFCCC kontribusi hutan tanaman ini masih kurang mendapat pengakuan. “Ini sangat tidak fair, karena sesungguhnya tidak ada perbedaan sequestration dari hutan alam jika dibandingkan dengan hutan tanaman,” ujar Irsyal.

Oleh karena itu, Irsyal mengajak forum ini untuk mendorong terus peran hutan tanaman dalam mitigasi perubahan iklim supaya diapresiasi oleh UNFCCC.

Ketika moderator menyampaikan pemikiran bagaimana jika hutan produksi dijadikan kawasan konservasi? Irsyal menanggapi tidak perlu secara legal merubah fungsinya karena akan sulit dan banyak implikasi dalam pelaksanaannya. “Pengalaman dan praktek yang terjadi di Indonesia saat ini bahwa hutan produksi juga berfungsi sebagai kawasan konservasi atau kawasan lindung di dalam konsesi hutan produksi” sebut Irsyal.

Lebih lanjut Irsyal menyatakan ketentuan di Indonesia bahwa hutan tanaman hanya boleh dijadikan tanaman pokok (komersial) maksimum 70% dari luas konsesi. “Pada realitasinya malahan kurang dari 50% yang menjadi tanaman komersial dan sisanya tetap berfungsi sebagai konservasi dan fungsi sosial” katanya. (*)