Melalui perbaikan tata kelola air pada areal gambut dapat diperhitungan penurunan emisi gas rumah kaca namun demikian tata cara perhitungannya belum pernah dilakukan. Demikian arahan Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dibacakan Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) dan MPV Joko Priatno pada pembukaan workshop Metode Perhitungan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Tata Kelola Air di Ekosistem Gambut yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut (PKG), Ditjen PPKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Bogor pada hari Rabu (20/11).

Acara ini diselenggarakan sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut pada unit managemen sekaligus berkontribusi terhadap pengendalian perubahan iklim berupa penurunan emisi gas rumah kaca. APHI menjadi peserta pada acara workshop ini bersama Kementerian LHK, BBSDLP Kementan, BRG, Dinas LHK Kabupaten Pelalawan, dan GAPKI.

“Tujuan penyelenggaraan acara ini adalah untuk menyepakati metode perhitungan penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan tinggi muka air tanah” ujar Joko.

Target penyelenggaraan pertemuan ini adalah data hasil pengukuran tinggi muka air tanah kegiatan pemulihan ekosistem gambut melalui perbaikan tata kelola air (mengembalikan fungsi hidrologis) dapat diperhitungkan nilai GRK-nya.

Joko menyatakan bahwa dalam rangka perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan, pemerintah telah mengeluarkan peraturan sebagaimana tertuang dalam PP 71/2014 jo PP 57/2016. “Disitu sudah diatur segala upaya dan tindakan, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, sektor swasta atau masyarakat setempat” sebut Joko.

Kebijakan tersebut diperkuat dengan produk peraturan perundangan turunannya yang berupa PerMenLHK No. P.14/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut, P.15/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Tinggi Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut, serta P.16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Ekosistem Gambut.

Pelaksanaan kebijakan tersebut saat ini telah ditetapkan penaatan pengukuran tinggi muka air tanah sebanyak 10.690 TP TMAT baik manual maupun data logger, yang tersebar pada area KHG seluas 3.4 juta ha pada 280 perusahaan pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan yang telah berupaya melakukan perbaikan tata kelola air denga memasang sedikitnya 27.889 unit sekat kanal.

“Hasil dari pertemuan ini akan dilanjutkan untuk melakukan perhitungan penurunan emisi gas rumah kaca dari kegiatan penurunan tinggi muka air tanah pada lahan gambut” ujar Joko.

Berdasarkan hasil diskusi yang disepakati, terdapat 2 pilihan metodologi yang dapat digunakan dalam penghitungan emisi GRK dari kenaikan TMAT pada lahan gambut, yaitu Metode Hooijer yang dikembangkan tahun 2010 dan Metode yang dikembangkan oleh BBSDLP Kementerian Pertanian Tahun 2014.

Metode Hooijer dirumuskan Emisi CO2 = 91*kedalaman MAT (m), namun metode ini dianggap overestimate. Sedangkan metode yang dikembangkan oleh BBSDLP Kementerian Pertanian yang mengkoreksi Metode Hooijer dengan merumuskan emisi CO2 = 11*kedalaman MAT (m) dan penelitian.

Metode TMAT sudah dapat dijadikan metode yang tepat dan dapat disepakati dalam penghitungan emisi GRK dari lahan gambut. Karena data yang digunakan merupakan data riil berdasarkan pengukuran langsung di lapangan (data primer). Selain itu data juga sudah memenuhi 20% keterwakilan data karena sudah mencakup 3,2 juta ha dari 14 juta ha lahan gambut di Indonesia.

Metode TMAT di scaling up secara nasional kemudian dijadikan model secara internasional dengan catatan perlu memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah, salah satunya representatif data dan dilajukan uji reabilitas data tersebut.

Hasil dari pertemuan ini akan dilanjutkan dalam pembahasan dan diskusi ekspert panel untuk mendalami kedua metodologi. Menarik untuk disimak lebih lanjut. (*)