Optimisme pembangunan kehutanan ada di tangan kita semua melalui optimasi pengelolaan hutan produksi melalui multiusaha untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Demikian disampaikan Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Rinekso Soekmadi pada pembukaan seminar nasional “Optimasi Pengelolaan Hutan Produksi Melalui Multi Usaha untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat” pada hari Sabtu (26/10) di Auditoriun Sylva Pertamina Fahutan IPB, Bogor.

Seminar Nasional yang merupakan rangkaian dari Semarak Kehutanan 2019 diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan (Fahutan IPB). Narasumber seminar dari Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Direktur Sinarmas Forestry (APP) dan Wakil Rektor 3 IPB.

Menurut Rinekso melalui optimasi pengelolaan hutan produksi dengan multi usaha ini diharapkan dapat menjawab tantangan untuk penciptaan lapangan kerja lulusan sarjana kehutanan. “Saat ini di IPB saja meluluskan 350 orang sarjana per tahun, diharapkan dapat terserap semua, salah satunya melalui realisasi kegiatan ini” sebut Rinekso.

Dirjen PSKL, Bambang Supriyanto mengatakan bahwa kata kunci dalam pengelolaan hutan lestari dan optimal adalah melalui penerapan multifungsi bisnis yang dilakukan oleh multistakeholders. “Ini sudah bukan wacana lagi, tetapi harus sudah diterapkan di lapangan” kata Bambang.

Lebih lanjut Bambang menyatakan bahwa penerapan pengelolaan hutan melalui multi fungsi ini sekaligus untuk menjawab tantangan kehutanan ke depan. “Terkait isu lingkungan (karhutla) dan bagaimana kontribusi kehutanan untuk menopang sektor lain terjawab melalui program Perhutanan Sosial/PS ini” ujar Bambang.

Bambang menggaris bawahi bahwa tujuan PS terkait SDGs ada 10 target antara lain pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan dan energi, partnership, serta berkeadilan. “Majunya KPH tidak ditentukan oleh seberapa SDA yang dikelola tetapi ditentukan manajemen dan teknologi yang diterapkan oleh para pihak yang berdampak pada menurunnya konflik sosial dan meningkatkan kesejahteraan rakyat” imbuh Bambang.

Sementara itu, Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto mengatakan bahwa tantangan sektor usaha kehutanan saat ini diantaranya rendahnya kelayakan usaha dan daya saing, hal ini disebabkan rendahnya harga kayu dan lemahnya diversifikasi usaha serta terbatasnya akses pendanaan. “Kami menyadari betapa pentingnya diversifikasi usaha mengingat hasil hutan kayu yang selama ini diusahakan baru 5% dari potensi sumber daya hutan” ujar Purwadi.

Oleh karena itu, saat ini APHI telah mengembangkan konfigurasi bisnis baru kehutanan untuk menjawab tantangan dengan multi usaha. “Kami tidak hanya meningkatkan kinerja industri berbasis hasil hutan kayu, kami juga akan mengembangkan agroforestri dan HHBK, ekowisata, jasa lingkungan dan bio-energi” kata Purwadi.

Melalui roadmap pembangunan hutan produksi 2019-2045 kami telah menghitung kontribusi sektor kehutanan pada tahun 2045 akan meningkat 11x lipat dari kontribusi saat ini yang mencapai 12 Miliar US Dollar. “Peningkatan kontribusi yang cukup signifikan tersebut diperoleh dari produk kayu (76,8%), HHBK (19,9%) dan ekowisata (3,2%)” ujar Purwadi.

Mendukung pernyataan Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Direktur Sinarmas Forestry Soewarso menyatakan bahwa pembangunan kehutanan tidak dapat dipisahkan dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. “Pembangunan kehutanan di masa depan harus bersifat multi aspek dengan melibatkan multi stake holder” sebut Soewarso.

Soewarso mengatakan bahwa pemanfaatan hutan saat ini masih belum optimal. “Usaha Kehutanan selama ini hanya menekankan kepada usaha pemanfaatan hasil hutan kayu saja, sedangkan sumber daya hutan memiliki multi fungsi” ujar Soewarso.

Pengembangan multiusaha memiliki prospek yang cukup baik namun masih menghadapi hambatan, khususnya terkait regulasi. “Perlu segera diselesaikan dan pemanfaatan multi aspek dalam hutan perlu dituangkan dalam kebijakan” pungkas Soewarso. (*)