Pengelolaan hutan Indonesia dimulai pada tahun 1970-an, yang ditandai dengan terbitnya UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan    Peraturan Pemerintah (PP) No 21 tahun 1970  tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH). Pemegang HPH diwajibkan mendirikan industri pengolahan hasil hutan kayu, dengan tujuan agar hasil hutan kayu yang diproduksi dari konsesi HPH memiliki nilai tambah bagi perkembangan ekonomi Indonesia, baik dari sisi nilai devisa, penyerapan tenaga kerja, maupun alih teknologi bagi tenaga kerja Indonesia. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif APHI, Purwadi Soeprihanto di Jakarta,  Senin (10/08/2020).

Pada tahun 1980 Pemerintah memberlakukan larangan ekspor log secara bertahap untuk mendorong perkembangan industri pengolahan kayu dalam negeri dan pada tahun 1986 ekspor log dilarang total. Kebijakan ini mendorong perkembangan industri pengolahan kayu di Indonesia terutama kayu lapis pada dekade 1990-an.”Sektor kehutanan mencapai kejayaannya pada dekade 1990-an, dengan industri kayu lapis yang menguasai pangsa pasar dunia dan  menghasilkan devisa US$3,89 milyar atau sekitar 8,1% dari total devisa Indonesia pada tahun 1997,” kata Purwadi.

Selanjutnya, ungkap Purwadi, sejalan dengan pemanfaatan kayu alam dan pengembangan industri pengolahan kayu lapis,  Pemerintah  mulai mencanangkan program  pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di areal hutan tidak produktif melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) IV ( tahun 1984-1989). Untuk memayungi investasi HTI, Pemerintah menerbitkan PP no. 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.”Pada dekade 1990-an ini,  kayu limbah hasil penyiapan lahan dalam rangka pembangunan HTI diizinkan digunakan sebagai bridging material  bahan baku industri sebelum kayu  HTI dapat dipanen,” jelas Purwadi.

Program pembangunan HTI mendapat respon positif dari dunia usaha dan berkembang cepat.  Hal ini terlihat dari jumlah IUPHHK-HT yang terus meningkat dari 2 unit seluas + 80.000 hektar pada tahun 1994,  menjadi 115 unit pada tahun 2005 dengan luas 5,97 juta hektar, dan data terakhir tahun 2019 mencapai 296 unit dengan luas 11,27 hektar. ”Pembukaan lahan untuk HTI di hutan tidak produktif dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kondisi tapak dan tetap melindungi hutan dengan nilai konservasi tinggi sesuai dengan ketentuan yang digariskan Pemerintah,”ujar Purwadi.

Purwadi menegaskan,  perlindungan hutan dengan nilai konservasi tinggi di areal HTI yang dialokasikan dalam bentuk kawasan perlindungan setempat, menjadi bagian dari pilar pengelolaan hutan lestari dari aspek lingkungan/ekologi.”Tuntutan pengelolaan hutan lestari yang semakin menguat dalam bentuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari baik dengan skema mandatory (SVLK) maupun voluntary (antara lain FSC dan PEFC), menempatkan aspek lingkungan sebagai pilar utama,” tutur Purwadi.

Terkait dengan kriteria yang dipersyaratkan oleh skema sertifikasi voluntary seperti tuntutan konservasi dan restorasi areal  sebagai kompensasi untuk atas kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan di areal HTI,  Purwadi memandang hal tersebut sebagai bagian dari partisipasi publik untuk mendorong perbaikan tata kelola HTI secara berkelanjutan. “APHI dan anggotanya terbuka untuk berdialog tentang skema kompensasi dan metodologinya, karena sejauh yang kami pahami skema tersebut masih dalam pengembangan, dan tentu dalam prosesnya kami akan mengkonsultasikannya dengan Pemerintah,” ujar Purwadi.

Purwadi meyakini, pemegang izin HTI anggota APHI akan cepat  beradaptasi dalam penerapan skema kompensasi jika standarnya telah ditetapkan.”Meskipun sifatnya suka rela, akan tetapi karena menyangkut komitmen pengelolaan HTI yang berkelanjutan dalam jangka panjang, maka skema kompensasi sangat terbuka diadposi,”pungkas Purwadi.*)