Focus Group Discussion (FGD) bertema “Public Private-People Partnership Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan dan Bertanggungjawab” diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerjasama dengan sekretariat ITPC di Jakarta pada hari Senin (18/11).

Pada FGD pengelolaan gambut ini, 3 unit management menyampaikan sharing pengalaman best practises pengelolaan gambut yang baik yaitu APP Sinar Mas, PT. Riau Andalan Pulp & Paper dan PT. Wana Subur Lestari.

Narasumber FGD dari PT. Riau Andalan Pulp & Paper (APRIL), Sofyan Kurnianto menyampaikan presentasi mengenai pentingnya pemantauan emisi GRK dalam pengelolaan lahan Gambut. “Ini kaitannya dalam rangka upaya mendukung komitmen dan upaya pemerintah menurunkan emisi GRK dunia khususnya dari areal gambut” ujarnya.

Menurutnya, yang menjadi latar belakang monitoring GRK ini adalah berdasarkan laporan pemerintah di UNFCC bahwa tahun 2016 saja total emisi kita mencapai 1,46 GT Karbon dioksida dimana lebih dari 50% berasal dari aktivitas berbasis lahan, seperti forestry, agriculture dan fire. “Komponen penyusun 50% tersebut berasal dari deforestasi, degradasi hutan dan api” sebut Sofyan.

Kenyataanya masih terdapat perbedaan estimasi GRK, selisihnya 0,7 GT CO2 Karbon atau sedikit lebih klecil dari komitmen kita mengurangi emisi GRK di Indonesia.”Hal ini terjadi karena akibat perbedaan metodologi penghitungan data dan kurangnya data pendukung dalam penentuan emisi faktornya” jelas Sofyan.

Menurut dia, pengukuran emisi GRK di lahan gambut ini sangat berguna baik untuk saat ini maupun di masa yang akan datang. “Pertama, data yang diperoleh dapat digunakan untuk mengukur total emisi GRK di Indonesia, dan kedua, untuk ilmu pengetahuan gambut, dan juga untuk tata kelola lahan gambut” imbuh Sofyan.

APRIL beroperasi berdasarkan kaidah SFM policy. Jadi SFM dapat menjadi assurance dan dapat diverifikasi oleh independen body.

“Pada salah satu komitmennya adalah APRIL berusaha untuk menurunkan jejak emisi karbon secara kontinyu dengan meningkatkan penyerapan emisi GRK melalui restorasi dan konservasi dan juga peningkatan praktek-praktek pengelolaan gambut yang berkelanjutan” ujarnya.

Pengukuran emisi GRK ini telah dilakukan sejak tahun 2016 yang lalu secara terus menerus pada hutan alam, hutan tanaman/akasia, dan areal un-manage land use. Hasilnya secara kalkulasi, pada hutan alam melepas metana sebesar 9 – 9,3 g m-2 year-1 sedangkan di hutan tanaman Akasia melepas 4.9 1.4 g m-2 year-1. “Dalam hal ini pada hutan tanaman Akasia lebih kecil melepas metananya daripada di hutan alam” ungkap Sofyan.

“Pada akhirnya apa yang dilakukan APRIL terkait penghitungan emisi GRK di areal gambut ini bisa dimanfaatkan untuk dunia scientific dan untuk praktek pengelolaan gambut berkelanjutan” kata Sofyan.

Sementara itu, narasumber dari PT. Wana Subur Lestari, Tsuyoshi Kato menyatakan bahwa PT. WSL telah melakukan pemantauan terkait gambut dengan data yang lebih akurat. “Kami berkomitmen untuk pengelolaan gambut secara berkelanjutan” ungkap Kato.

Menurut Kato, saat ini banyak pembahasan terkait issue GRK seperti CO2 atau methan, tatapi yang tidak kalah penting terkait fungsi gambut untuk menyimpan air, dan fungsi evapotranspirasi. “Ini penting karena akan mensuplai air ke udara dan membuat siklus global menjadi stabil” ujarnya.

Kato menyatakan bahwa apabila pada areal gambut tidak ada tanaman sama sekali, maka siklus global menjadi hancur.

“Kami sudah menyampaikan dan mempresentasikan di tingkat dunia bukan hanya di Indonesia, bahwa kita menanam pohon di lahan gambut untuk menjaga siklus air global” ungkapnya.

Selanjutnya, pada areal bekas kebakaran gambut perlu dilakukan restorasi. “Jadi kita tanam pohon pada areal bekas kebakaran itu” kata Kato.

Indonesia sudah mulai memperbaiki terkait tata kelola air pada areal-areal gambut yang dimulai dari pembuatan sampling intensif, pembuatan peta topografi dalam rangka pengelolaan lahan gambut dengan baik. “Hal ini tidaklah mudah dan membutuhkan biaya yang besar” ujarnya.

Kami juga memperkenalkan teknologi untuk dapat memperoleh data yang akurat terkait gambut. “Kami berharap teknologi ini bisa juga dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat dan juga Pemda” sebut Kato.

Dalam konteks ini perusahan juga membantu masyarakat disekitar hutan, yang secara kebetulan ada masyarakat transmigrasi untuk mempersiapkan persahawan masyarakat dan juga membantu sistem tata kelola airnya. “Ya ini boleh disebut sebagai program CSR namun tujuannya agar masyarakat kami bisa mandiri dan tidak membakar hutan dan lahan lagi” pungkas Kato. (*)