Program pengembangan Hutan Energi merupakan upaya pencadangan kawasan hutan produksi dan pemanfaatan lahan marginal yang khusus diperuntukan bagi pembangunan bioenergi berbasis biomassa hutan.

“Program ini diharapkan dapat mendukung upaya peningkatan kontribusi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam bauran energi Nasional yang ditargetkan mencapai 23 persen atau sebesar 45 GW tahun 2025 sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional” kata Direktur Bioenergi, Andriah Feby Misna pada pembukaan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Penyelarasan Program Pengembangan Bioenergi Berbasis Hutan Energi yang diselenggarakan Direktorat EBT dan konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada hari Jumat (01/11) di Bogor.

Menurut Andriah target tersebut kemudian dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional dimana Pemerintah berkomitmen untuk pengembangan EBT menjadi prioritas Nasional.

Selain kementerian ESDM dan Kementerian LHK, beberapa kementerian/lembaga dan institusi lainnya juga turut berupaya dalam mengembangkan hutan energi. “Diperlukan penyelarasan peran dan program dari seluruh pihak terkait dan diperlukan rencana aksi sehingga akan terjadi akselerasi pencapaian target kontribusi EBT dalam bauran energi nasional khususnya yang berasal dari hutan energi” sebut Andriah.

Perwakilan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Produksi Hutan Alam Bambang Widyantoro yang menyampaikan ulasan terkait Skema Bisnis Penyediaan Biomassa Hutan untuk Energi.

Bambang menyampaikan rencana pengembangan energi biomassa kayu dari hutan produksi (non perhutani) yaitu seluas 800.000 ha Hutan Tanaman (HTI) yang didedikasikan untuk energi berdasarkan perhitungan pada Road Map Pembangunan Hutan Produksi 2019 – 2045. “Produksi kayu/biomass yang dihasilkan adalah untuk mensuplai bahan baku kayu industri energi biomassa/biofuel yang disiapkan secara khusus untuk energi Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBM)” ujar Bambang.

Limbah tebangan dan industri pengolahan kayu juga berpotensi sebagai bioenergi, tetapi biaya pengumpulannya mahal dan teknologi pemanfaatannya masih terbatas. “Harus ada insentif pemanfaatan limbah kayu ini karena biaya produksinya yang tinggi” ujarnya.

Bambang menyoroti masih tingginya biaya produksi raw material yang berperngaruh terhadap harga jual wood pellet. “Kalau harga jualnya masih lebih tinggi, ditambah lagi dengan masih tersedianya batubara maka wood pellet ini akan sulit untuk bersaing” sebut Bambang.

Insentif fiskal yang diusulkan nyatanya belum dapat menurunkan harga wood pellet hingga ke USD 60/ton, saat ini masih di kisaran 75 – 78 USD/ton. “Terobosan penggunaan teknologi berupa alat pencacah (chipper) yang masuk ke lokasi tebangan serta angkutannya hanya berpengaruh kecil saja, menjadi 68 – 75 USD/ton” katanya.

Perlu dicarikan upaya lain untuk menurunkan harga wood pellet melalui efisiensi dan pengurangan biaya operasional serta kewajiban kepada negara, lingkungan, dan sosial.

Terkait skema kerjasama, Bambang menyebutkan ada beberapa skema kerjasama yang memungkinkan untuk pembangunan tanaman energi antara lain melalui pola Bangun Guna Serah (BGS) atau Bangun Serah Guna (BSG), kerjasama bagi hasil (KSO/KSU).

Lalu bagaimana konsep pengembangan HTI Biomasa? Menjawab pertanyaan tersebut menurut Bambang, konsep pengembangan tanaman dan industri biomassa meliputi luas 120 ribu hektare di seluruh grup hutan tanaman. “Konsepnya, penanaman diprioritaskan pada lokasi tanah kosong atau tidak produktif, termasuk didalamnya yang ada tekanan sosial tinggi, dan yang sering mengalami kegagalan penanaman” ujarnya.

Penanamannya menggunakan metode plong-plongan atau komplangan. “Yang paling optimal menggunakan pola komplangan dengan perbandingan 70% tanaman biomassa, dan 30% tanaman tanaman pertanian” kata Bambang.

Jenis yang ditanam Gamal dan Kaliandra Merah dengan kadar kalori yang tinggi, setara batu bara. Tanaman dapat dipanen pada umur 2 tahun dengan sistem trubusan (7 kali panen setahun), replanting pada umur 15 tahun dan target produktivitas tebangan 70 ton/ha dalam 2 tahun. “Cukup menjanjikan apabila dapat dikembangkan dengan skala luas tapi perlu ada dukungan insentif pemerintah” pungkas Bambang.(*)