Ekspor non migas dari sektor kehutanan Indonesia cukup moncer dan memiliki potensi besar untuk mendukung pertumbuhan hijau melalui pemanfaatan produk kayu dan hasil hutan lainnya. Dukungan diplomasi dari para diplomat untuk mempromosikan sektor kehutanan di pasar internasional akan semakin memperkuat potensi tersebut.

“Presiden Jokowi sudah meminta Dubes Indonesia untuk mengedepankan diplomasi ekonomi. Untuk itu kami mohon dukungan Perwakilan RI di luar negeri dan dukungan para diplomat,” kata Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo saat Pengembangan Kapasitas untuk Diplomat bertema “Hutan Indonesia: Keberlanjutan dan Daya Saing”, Rabu, 26 Oktober 2022. Acara tersebut dibuka oleh Dirjen Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Umar Hadi.

Seperti kita ketahui, Indonesia memiliki 120,6 juta hektare kawasan hutan yang setara dengan 63% dari luas daratan. Sejumlah stigma negatif yang pernah dilekatkan kepada sektor kehutanan Indonesia sejatinya kini sudah berhasil diatasi dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah saat ini.

Indroyono menjelaskan untuk menjawab isu tentang illegal logging dan keberlanjutan, Indonesia sudah mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK).Skema sertifikasi mandatory itu telah mendapat pengakuan internasional termasuk dari Uni Eropa dan Inggris melalui perjanjian FLEGT.

“Kami berharap diplomat Indonesia bisa terus mempromosikan SVLK dan mendorong negara-negara UE untuk mengimplementasikan perjanjian FLEGT,” katanya.

Tahun ini sampai September, Indonesia mengekspor produk kayu senilai 1,3 miliar dolar AS ke UE. Namun nilai pasar UE mencapai 52 miliar dolar AS yang malah dikuasai oleh negara-negara yang tidak memiliki perjanjian FLEGT.

Isu lain yang sudah dijawab melalui kebijakan pemerintah saat ini adalah soal deforestasi. Menurut Indroyono, berbagai kebijakan pemerintah Indonesia telah berhasil menahan laju deforestasi menjadi sangat rendah. Pada tahun 1996-2000 laju deforestasi Indonesia pernah tercatat 3,5 juta hektare per tahun namun saat ini laju deforestasi hanya 115 ribu hektare pada tahun 2019-2020.

“Berkat capaian penurunan laju deforestasi ini Indonesia menerima penghargaan dalam bentuk dana dari Norwegia dan Global Climate Fund,” kata Indroyono.

Kemudian soal isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Mengutip data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas karhutla terus menurun dari tahun ke tahun. Tahun ini hingga September luas karhutla tercatat hanya 44 ribu hektare jauh di bawah tahun 2019 yang mencapai 1,6 juta hektare dan tahun 2015 yang mencapai 2,6 juta hektare.

Menurut Indroyono, arahan Presiden Jokowi untuk menerapkan solusi permanen dalam pengendalian karhutla dilaksanakan dengan efektif. Salah satu contohnya adalah pembasahan lahan dengan memanfaatkan Teknologi Modifikasi Cuaca atau hujan buatan sebelum terjadi karhutla.

“Kalau sudah terjadi api baru bikin hujan buatan sulit dan biaya pemadaman akan mahal,” kata Indroyono.

Dia mengatakan data akurat mengenai capaian Indonesia dalam pengelolaan hutan Indonesia telah dituangkan dalam buku The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2018, 2020 dan 2022. Buku ini diterbitkan pemerintah Indonesia dan di-endorse oleh FAO. Buku tersebut bisa menjadi pegangan diplomat Indonesia dalam melaksanakan tugas diplomasi.

Indroyono lebih lanjut menjelaskan bahwa potensi sektor kehutanan kini semakin besar dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK). Berdasarkan ketentuan itu pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) bisa mengimplementasikan model bisnis multi usaha kehutanan di areal konsesinya.

“PBPH bisa memanfaatkan hasil hutan non kayu, ekowisata dan jasa lingkungan serta karbon,” katanya.

Pengembangan multi usaha kehutanan juga menjadi salah satu dari upaya untuk mendukung tercapainya komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim dengan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% tanpa syarat dan 43,20% bersyarat berdasarkan dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).

Sementara itu Dirjen Amerop Umar Hadi berpesan kepada jajarannya bahwa salah satu tugas diplomat adalah untuk mempromosikan Indonesia termasuk hasil hutan.

“Tugas kita sebagai diplomat sudah jelas sebagai marketer, sales person nomor satu Republik Indonesia,” katanya.

Dia juga mengajak agar para diplomat bisa memiliki berbagai pengetahuan tentang produk yang akan “dipasarkan” sehingga bisa memberi penjelasan rinci kepada publik internasional. Apalagi, kata Umar Hadi, Negara-negara di wilayah Amerika dan Eropa banyak memiliki kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan. ***