Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) diundang pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komisi IV DPR RI yang dipimpin Dedi Mulyadi (Ketua) membahas mengenai Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan di Gedung Nusantara, DPR-RI Senayan, Jakarta, pada hari Kamis (12/11).

RDPU Panja Komisi IV DPR dalam rangka memperoleh masukan dari para stakeholders mengenai penggunaan dan pelepasan kawasan hutan, yang merupakan tindak lanjut diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap pelaksanaan penggunaan dan pelepasan kawasan hutan.

Pada kesempatan tersebut, selain mengundang APHI, RDPU Panja Komisi IV DPR juga mengundang Akademisi (Fakultas Kehutanan IPB), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), dan Yayasan Auriga Nusantara. Namun disayangkan Walhi menolak hadir karena menurutnya UU Ciptaker disahkan secara dipaksakan.  Dari APHI hadir Wakil Ketua Umum Bambang Supriyambodo, Ketua Bidang Organisasi dan Keuangan Tjipta Purwita dan Ketua Bidang Produksi Hutan Tanaman, Soewarso, serta Direktur Eksekutif, Purwadi Soeprihanto.

Purwadi menyampaikan penghargaan kepada DPR dan Pemerintah atas terbitnya UU no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Kami sudah menunggu cukup lama terbitnya UU ini, kareana setidaknya ada 3 issue penting yang terkait usaha sektor kehutanan saat ini, yang pertama bagaimana proses kemudahan izin berusaha, yang kedua kami sangat menghargai sekali issue tentang perhutanan sosial, dan yang ketiga, issue-issue penyelesaian permasalahan yang terkait perizinan berusaha di sektor kehutanan” ujarnya.

Menurut Purwadi, UU Cipta Kerja akan banyak meletakkan dasar-dasar pergeseran paradigma pengelolaan hutan. “Dalam peraturan sebelumnya hanya berbasis satu perizinan, satu produk, tapi kemudian ada perubahan yang sangat mendasar dalam UU Cipta Kerja ini dimana paling tidak ada 4 pemanfaatan yang bisa dikelola dalam satu izin berusaha” ujar Purwadi.

Lebih lanjut Purwadi menyebutkan pengelolaan hutan dalam bentuk perizinan dimaksud meliputi 1) Pemanfaatan kawasan, 2) Hasil hutan kayu dan bukan kayu, 3) Jasa lingkungan, dan 4) Pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

“Issue yang cukup penting dalam UUCK terkait perhutanan sosial terkait masyarakat adat, masyarakat yang berada disekitar hutan ini yang harus dijadikan perhatian kedepan dan Alhamdulillah payung hukumnya sudah ada” ujarnya.

Pergeseran paradigma kedepan diperlukan, bahwa penguatan pengelolaan hutan harus berbasis ekosistem. “Tidak bisa lagi berbasis kayu, atau non kayu, tetapi bagaimana kita memanfaatkan seluruh unsur yang ada di situ berbasis ekosistem dan juga berbasis masyarakat” ujarnya.

Lebih lanjut Purwadi menyebutkan bagaimana mensinergikan kegiatan-kegiatan pengelolaan itu berbasis ekosistem, berbasis masyarakat dan terkait dengan kepatuhan berusaha. “Hal ini dimaksudkan untuk dapat menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan menjamin keberlangsungan usaha jangka panjang yang sinergi dengan masyarakat dapat terjalin” imbuhnya.

Selanjutnya Purwadi menyampaikan hal penting terkait penggunaan dan pelepasan kawasan hutan dalam UUCK diharapkan selaras antara pembangunan dan upaya peningkatan investasi dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian.

“Kami mendukung ketentuan dalam UUCK terkait pelepasan kawasan hutan bahwa, perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan hutan produksi tetap (HP) setelah melalui penelitian terpadu oleh tim terpadu yang ditetapkan oleh menteri “ ujarnya.

Selanjutnya, pemegang persetujuan pelepasan kawasan hutan dikenakan PNBP pelepasan kawasan hutan senilai kawasan hutan yang dilepas, dan untuk menjamin kepastian berusaha, maka perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan pada areal yang telah dibebani perizinan berusaha diberlakukan setelah berakhirnya izin dan/atau setelah tanaman/tegakan di atasnya dimanfaatkan oelh pemegang izin berusaha.

“Kami juga mendukung terkait ketentuan terkait penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan, yang dilakukan melalui pinjam pakai oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu” ujarnya.

Selanjutnya, Purwadi mengharapkan dapat mengikuti ketentuan dalam hal penggunaan kawasan hutan untuk investasi pertambangan yang berada di areal yang sudah dibebani perizinan berusaha (izin pemanfaatan hutan), maka izin pinjam pakai diberikan maksimal 10% dari luasan efektif izin pemanfaatan hutan*)