Perhimpunan Organisasi Alumni Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia (HIMPUNI) menggelar diskusi seri ke-2 mengenai RUU Ominibus Law Cipta Lapangan Kerja pada hari Selasa (11/02) di Kampus UGM SP, Jakarta Selatan. Hadir pada diskusi tersebut alumni Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, mulai dari Kagama, Iluni, IKA Universitas Brawijaya, Alumni Airlangga, dll, selain itu juga hadir dari kalangan Pers.

Diskusi Seri II Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dipandu oleh Ketua Umum IKA UB, Ahmad Erani Yustika dengan menghadirkan narasumber 1) Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Na Endi Jaweng, 2) Staf Khusus Menteri Perhubungan Republik Indonesia, Prof. Wihana Kirana Jaya, 3) Direktur Eksekutif APHI, Purwadi Soeprihanto dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Sukarmi.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Na Endi Jawen menyatakan bahwa Indonesia pada dasarnya tidak kekurangan investor karena banyak daya tarik di negeri ini. “Namun, sampai saat ini masih terdapat kendala terkait pengurusan perizinannya” ujarnya.

Berdasarkan data Kemenko Bidang Perekonomian tahun 2019, faktor penghambat investasi utama antara lain 32,6% perizinan, 17,3% Pengadaan Lahan, 15,2% Regulasi Kebijakan. “Dalam hal ini kita masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain” kata Robert Jawen.

Dalam konteks ini, beberapa waktu yang lalu Pemerintah sudah mencoba untuk mengatasi tantangan investasi melalui penerapan OSS untuk menyederhanakan perizinan, namun dalam prakteknya masih sulit. “Hingga kini baru ada satu daerah yang benar-benar dapat melaksanakan OSS secara penuh yaitu di Sidoarjo” ungkap Robert Jawen.

Menurut Prof. Wihana Kirana Jaya, omnibus law di bidang transportasi terkait dengan klaster (1) penyederhanaan perizinan, (2) persyaratan Investasi, (7) administrasi pemerintahan, (8) pengenaan sanksi/penghapusan pidana dan (10) Investasi dan proyek pemerintah. “Langkah yang diambil merupakan disfungsional konstitusi, seolah-olah pertumbuhan Investasi hanya dipengaruhi oleh regulasi” sebut Prof. Wihana Kirana.

Prof. Wihana Kirana menekankan bahwa peningkatan investasi bukan sekadar fungsi dari regulasi. “Omnibus Law hanya bagian kecil dari reformasi birokrasi yang hendak dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan seluruh kabinet Indonesia Maju”ujarnya.

RUU Omnibus Law diharapkan mampu menjadi pengatur bagi Pemerintah, pasar, dan pengusaha. “Hal itu agar tumpang tindih peraturan tidak terjadi, selain itu juga agar dapat mengurangi biaya transaksi ekonomi” kata Prof. Wihana Kirana.

Sementara itu, Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto menyatakan bahwa dalam RUU Omnibus Law, cluster penyederhanaan perizinan berusaha mencakup penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan Pengadaan Lahan. “Dalam hal ini penyederhanaan persyaratan perizinan usaha berbasis lahan lebih ditekankan karena hampir semua sektor atau sebagian besar sektor usaha unggulan berbasiskan lahan” kata Purwadi.

Purwadi mencontohkan penyederhanaan persyaratan perizinan ini di sektor kehutanan yang terkait UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, bahwa salah satunya terkait terminologi izin lingkungan dihilangkan, penerapan amdal hanya untuk kegiatan yang beresiko tinggi/berdampak penting. Untuk usaha yang berdampak tidak penting maka cukup dengan penerapan standar UKL-UPL saja. “Diskursus pembahasan hal ini amat panjang karena sebagian kalangan mengira pemerintah akan menghilangkan amdal, padahal tidak” ujar Purwadi.

Omnibus law yang terkait UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu terkait pemanfaatan hutan yang sebelumnya diberikan melalui izin pemanfaatan kawasan hutan, hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan disederhanakan menjadi Izin Berusaha yang hanya ada satu izin dalam pemanfaatan hutan produksi. “Upaya ini akan banyak memutus rantai birokrasi perizinan di sektor kehutanan” imbuhnya.

Terkait cluster persyaratan Investasi, semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau kegiatan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat. “Dalam hal ini tidak ada pembedaan jenis usaha kegiatan yang tertutup untuk penanaman modal asing PMA dan penanaman modal dalam negeri (PMDN)” sebut Purwadi.

Pengaturan tentang pelaksanaan Undang-Undang Omnibus ini Law ditarik pada tingkat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. “Pengaturan ini diharapkan efektif untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan antar sektor dan dapat lebih mengefektifkan rantai birokrasi” kata Purwadi.

Banyak pihak menaruh harapan pada upaya pemerintah untuk menyederhanakan peraturan melalui omnibus law ini, namun tak sedikit yang pesimis. Bukan tanpa alasan, karena hingga kini kultur birokrasi masih menjadi sesuatu yang telah mengakar dan diyakini bisa menjadi penghambat pelaksanaan Omnibus Law di Indonesia. Untuk itu agar berhasil, program Omnibus Law ini harus berkesinambungan, tidak hanya merupakan kebijakan sesaat.

Banyak pihak yang kecewa dan mengharapkan agar RUU Omnibus Law seharusnya disosialisasikan terlebih dahulu ke masyarakat sebelum diserahkan kepada DPR, untuk mengakomodir masukan masyarakat dan sesuai dengan ketentuan penyusunan perundang-undangan. RUU Omnibus Law ini juga seharusnya dilengkapi dengan Naskah Akademis yang berlandaskan riset, tidak hanya sekedar syarat formalitas saja.

Yang perlu digaris bawahi bahwa omnibus law ini tidak secara otomatis dapat menyelesaikan dan meningkatkan investasi karena investasi bukan sekadar fungsi dari regulasi. Karena Omnibus Law hanya bagian kecil dari reformasi birokrasi yang hendak dilakukan oleh pemerintah. Masih ada permasalahan lain yang belum terselesaikan, seperti ketidakpastian hukum dan seringnya pergantian peraturan.

Dan, yang paling penting dalam pelaksanaan Undang-Undang adalah strukturnya jelas dan yang melaksanakannya siap dan memiliki kemampuan. Bagaimana nasib RUU Omnibus Law ini selanjutnya setelah diserahkan ke DPR ? Menarik untuk disimak perkembangannya lebih lanjut. (*)