Dalam rangka menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo pada pertemuan Leader Summit On Climate kepada para pemimpin dunia, pada tanggal 22-23 April 2021 yang lalu, Pemerintah bersama sama dengan para pemegang usaha pengelolaan hutan di Indonesia perlu bersinergi dan melangkah dalam satu irama menuju arah yang tepat dan lebih baik ke depan. Demikian disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada pembukaan dialog yang diselenggarakan Kementerian LHK dan APHI secara virtual “Strategi Dan Aksi Mitigasi Sektor Kehutanan untuk Pemenuhan Target NDC dan Pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon” pada Kamis (29/04).

Menteri LHK mengingatkan kembali tiga butir arahan Presiden pada pertemuan Leader Summit On Climate antara lain (i) Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan Iklim melalui pengendalian laju deforestasi, penghentian konversi hutan alam dan gambut, penurunan kebakaran hutan dan lahan, dan (ii) kita semua didorong dan diharapkan dapat memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik, dan yang tidak kalah penting, dan (iii) adalah mencapai target persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya yaitu kemitraan global.

Dengan terbitnya PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, pemerintah telah mendorong bisnis kehutanan pada aspek yang lebih luas serta bertanggung jawab untuk melakukan transformasi dari perizinan pemanfaatan hasil hutan, pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan dalam bentuk penyerapan dan/atau penyimpanan karbon yang lebih terintegrasi dengan bentuk pengusahaan lainnya dengan model perizinan multiusaha.

“Perpres NEK yang dalam waktu dekat akan ditandatangani Presiden, diharapkan dapat memancing daya tarik investor dan stakeholder dari luar negeri untuk berbondong-bondong dan merencanakan investasi di dunia usaha kehutanan khususnya, dan apabila hal tersebut dikelola dengan baik dan benar, dapat memberikan added value bagi pengelolaan kehutanan di Indonesia” ujar Siti.

Keterpaduan perizinan multiusaha dan NEK perlu dikelola dan diintegrasikan ke depan. Dalam hal ini angka karbon (emisi) merupakan ukuran kinerja universal (dunia) dalam pengelolaan perubahan iklim yang merefleksikan tingkat keberhasilan negara dalam mengendalikan perubahan iklim. Oleh karenanya hak atas karbon dan nilai ekonomi karbon harus dikuasai, dilindungi dan dikelola oleh negara dan diatur Pemerintah Indonesia. Dalam konteks ini karbon sebagai constitusional rights.

“Capaian angka karbon juga merupakan  salah satu dari refleksi keberhasilan suatu negara  dari upaya-upaya kontribusi kepada dunia atas penurunan emisi gas rumah kaca, disamping ukuran lain yang juga sangat penting meliputi biodiversity, landscape conservation serta lainnya” imbuhnya.

Ketua Umum APHI, Indroyono Soesilo menggarisbawahi tiga butir arahan Presiden pada pertemuan Leader Summit On Climate 23 April 2021 yang difasilitasi Pemerintah Amerika Serikat, dimana hal penting yang menjadi catatan bagi Indonesia meliputi 1) Kehutanan, 2) Green Development, dan 3) Target Paris Agreement terkait penurunan emisi karbon dan pencapaian sasaran mitigasi.

Indroyono menyatakan, berdasarkan kajian APHI menggunakan data global tentang potensi pengurangan emisi tahun 2020, bahwa potensi pengurangan emisi karbon dari areal kerja IUPHHK nilainya cukup besar, yakni mencapai 2,02 miliar ton CO2e atau 120,14 juta ton CO2e per tahun.

“Pemenuhan target NDC Indonesia pada tahun 2030 sebesar 497 juta ton CO2e sebagian dapat dipenuhi dari alokasi pengurangan emisi 120,14 juta ton CO2e tersebut” ujarnya.

Jika kita simulasikan dengan pengalokasian sebesar 50 juta ton CO2e per tahun selama 17 tahun, dalam hal ini pengalokasian diperhitungkan mulai dari tahun 2013-2030, akan menghasilkan 850 juta ton CO2e pada tahun 2030 atau 171% dari target NDC. Hal ini dapat menjadi jaminan dan buffer untuk pemenuhan target NDC Indonesia melalui mekanisme Result Based Payment.

“Dengan demikian, sisanya sebesar 70,14 juta ton CO2e per tahun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pemanfaatan NEK melalui perdagangan karbon atau mekanisme lainnya” ungkap Indroyono.

Dalam rangka merespon perkembangan bisnis karbon ini, APHI bekerjasama dengan stakeholder terkait akan melakukan pelatihan penghitungan karbon yang dimulai pada awal Mei 2021.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Dirjen PHPL), Kementerian LHK, Bambang Hendroyono menyatakan bahwa saat ini terdapat 567 unit pengusaha telah mengantongi perizinan berusaha pemanfaatan hutan.

“Nantinya multiusaha kehutanan akan diberikan Pemerintah kepada pengusaha melalui instrumen perubahan atau penyesuaian atas RKU” imbuhnya.

Implementasi UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja menjadi momentum bagi pemegang perizinan berusaha untuk meningkatkan kinerja kelola usahanya dengan memberikan peluang kerjasama investasi dalam pemanfaatan hutan bersama stakeholders.

Bambang menyatakan bahwa penurunan emisi GRK pada sektor kehutanan dapat dilakukan pada areal hutan produksi dimana kawasan hutan produksi mencakup areal seluas 68,04 juta ha atau 54% dari luas hutan Indonesia.

“Penurunan emisi dan peningkatan stok karbon sesuai definisi hutan menjadi tolok ukur tercapainya keseimbangan hayati untuk menilai keberhasilan pengelolaan hutan produksi. Data persentase luas hutan produksi terhadap luas hutan Indonesia terlihat bahwa peran hutan produksi terhadap penurunan emisi karbon sangat besar dan penting” ujarnya.

Lebih jauh Dirjen PHPL mengungkapkan bahwa skema REDD+ di Indonesia hanya akan terlaksana dengan baik apabila sektor kehutanan, khususnya areal hutan produksi, dapat melaksanakan konsep PHPL secara konsisten dan berkesinambungan karena salah satu dari inti kegiatan REDD+ itu adalah mengelola hutan secara lestari atau sustainable management of forest.

“Kebijakan multiusaha kehutanan di hutan produksi harus menjadi bagian dari kebijakan kehutanan untuk mitigasi perubahan iklim khususnya untuk hutan produksi dimana pelaksanaannya disertai penerapan sistem silvikultur yang tepat dan teknik pemanenan yang ramah lingkungan atau reduced impact logging (RIL)” ungkap Bambang.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Dirjen PPI) Laksmi Dhewanthi menyatakan bahwa pengendalian perubahan iklim menjadi komitmen Indonesia yang menjadi tugas bersama.

“Upaya yang kita lakukan saat ini hendaknya tidak hanya semata-mata untuk mendapat peluang ekonomi, namun juga merupakan bagian atas kontribusi Indonesia sebagai bahan kepentingan lingkungan yang perlu dikedepankan” ungkap Laksmi.

Laksmi juga menekankan pentingnya masa transisi yang sebaik-baiknya atas diberlakukannya Paris Agreement, dimana Indonesia sebelumnya mengikuti Protocol Kyoto, sebagai negara golongan Non Annex I.

“Setelah terbit Paris Agreement, semua negara wajib untuk menurunkan emisi karbon, dan  Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan mitigasi sebesar 29%, naik dari yang sebelumnya sebesar 24%” ujarnya.

Laksmi mengingatkan bahwa perdagangan karbon berbeda dengan pembayaran berbasis hasil dimana hak klaim tidak berpindah ke pembayar jasa. “Dalam perdagangan karbon ada kemungkinan hak berpindah atas karbon, sehingga ada kekhawatiran setelah Indonesia masuk negara yang wajib melaporkan emisi” ungkapnya.

Strategi pemenuhan kebutuhan pendanaan untuk mendukung NDC menjadi penting yang dapat diperoleh melalui pengembangan instrument pembiayaan yang inovatif seperti green sukuk, SDG One, atau melalui BPDLH.

“Untuk itulah diperlukan penguatan kebijakan fiskal, peningkatan akses ke pendanaan global contohnya GCF, GEF, dll dan juga peningkatan daya tarik investasi swasta” imbuh Laksmi. (*)