Selasa, 22 Januari 2019 menjadi tonggak penting ketika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya secara resmi menandatangani prasasti Pencanangan Kebangkitan Hutan Alam Indonesia dan Sosialisasi Silvikultur Intensif (SILIN). Peristiwa ini merupakan momentum strategis diterimanya teknik SILIN sebagai kebijakan utama untuk mewujudkan peningkatan produktivitas hutan alam dan pengelolaan SDA hutan yang berkelanjutan di masa selanjutnya menyongsong era industri kehutanan 4.0 setelah sebelumnya telah melalui proses riset dan uji coba yang panjang. Hal ini dikatakan Menteri LHK, Siti Nurbaya pada sambutan dalam acara tersebut di Manggala Wanabakti Jakarta.  Hadir dalam pencanangan tersebut sekitar 500 peserta dari Pejabat KLHK, Kementerian/Lembaga terkait, pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, asosiasi, dan media.

Pencanangan ini merupakan komitmen kuat dari pemerintah dalam meningkatkan potensi kayu hutan alam yang selama ini hanya menghasilkan 30 meter kubik kayu per ha menjadi 120 meter kubik per hektar dengan menerapkan Teknik SILIN.  “Peningkatan volume kayu menjadi 4 kali lipat merupakan suatu terobosan yang menjadi harapan pengusahaan hutan alam” kata Siti.

Pakar SILIN Prof. Moh. Na’iem yang menjadi narasumber dan peneliti SILIN menyatakan bahwa produktifitas SILIN ini 3-4 kali lipat dari produksi TPTI. “SILIN ini yang akan menjamin kelestarian bahan baku dan industri kehutanan” kata Prof. Na’iem.

Prof. Na’iem menegaskan bahwa SILIN merupakan investasi jangka panjang, diperlukan insentif berupa pengurangan pembayaran DR dan penetapan tanaman sebagai aset perusahaan oleh pemerintah. “Implikasinya PNBP, Jasa Lingkungan dan produksi HHBK tahun-tahun yang akan datang  akan lebih meningkat” sebut Prof. Na’iem.

Pakar lainnya, Agus Setyarso dalam paparannya mengatakan bahwa dalam memenuhi kebutuhan kayu dan hasil hutan lainnya tidak harus berarti merusak hutan. Kekayaan yang luar biasa dari hutan alam akan dibangkitkan kembali berupa kayu, energi biomassa dari limbah hutan alam, HHBK, jasa lingkungan dan kekuatan mitigasi perubahan iklim.

Agus menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan produktivitas hutan alam, diperlukan insentif berupa potongan DR 35 persen apabila dicapai produksi minimum 90 meter kubik per hektar. “Selain itu juga dibutuhkan dukungan berupa pembukaan ekspor hasil SILIN dan pemberian pinjaman ivestasi jangka panjang dari P3H” ujar Agus.

Mendukung pernyataan kedua pakar SILIN, Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto menyatakan bahwa aplikasi SILIN ini tidak diragukan lagi dalam meningkatkan potensi kayu di hutan alam dari 30 meter kubik menjadi 120 meter kubik. Namun penerapannya belum menarik pelaku usaha. “Pembiayaan jangka panjang menjadi kendala yang perlu dicarikan solusinya oleh pemerintah” ujar Purwadi.

Purwadi mengungkapkan bahwa salah satu solusi pembiayaan itu misalnya dengan merevisi persyaratan pemanfaatan dana badan layanan umum (BLU) yang menggunakan dana reboisasi. Revisi ini mencakup jangka waktu maksimal peminjaman agar bisa mencapai 20-25 tahun sampai masa panen kayu SILIN. Sementara ini, dana BLU untuk kegiatan usaha bergulir jangka pendek.

Selain itu, perlu kejelasan penetapan status aset tanaman SILIN untuk perusahaan yang menanam, juga diharapkan tagihan Dana Reboisasi mendapatkan pengurangan bagi pengelola konsesi yang menerapkan SILIN. “Untuk menjaga dan SILIN ini sifatnya investasi, perlu kejelasan dan modal yang besar” ungkap Purwadi.

Pada sesi diskusi, Ketua Bidang Humas dan Kerjasama APHI Sugijanto Soewadi menyatakan bahwa Pekerjaan Rumah (PR) kedepan setelah pencanangan SILIN ini, bagaimana SILIN bisa menjadi bisnis model unggulan di sektor usaha kehutanan. Keberhasilan aplikasi SILIN ini sangat tergantung SDM yang handal. “Kondisi SDM kehutanan saat ini cukup memprihatinkan, masih perlu dukungan untuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas” ujar Sugijanto.

Menurut Sugijanto, pihak Perbankan saat ini masih belum mau memberikan pinjaman modal di sektor Kehutanan. Dengan resiko yang besar dan jangka waktu yang panjang masih menjadi handicap bagi Perbankan ataupun lembaga keuangan untuk menyalurkan dananya. Kondisi ini perlu disadari oleh para pejabat atau pengambil keputusan karena bisnis tanpa dukungan perbankan tidak mungkin berkembang. “Pengambil kebijakan perlu menguasai enterpreneurship agar lebih memahami dalam pengambilan keputusan kedepan” kata Sugijanto.

Pada awalnya, SILIN ini diujicobakan mulai tahun 2005 pada 6 IUPHHK model, yaitu di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, PT. Suka Jaya Makmur, PT. Erna Djuliawati, PT. Sarmiento Parakantja Timber, PT. ITCI Kayan Hutani dan PT. Balikpapan Forest Industries. Namun demikian, penerapan SILIN ini terus berkembang dan bertambah, sampai saat ini tercatat 25 IUPHHK yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana SILIN pada areal kerjanya masing-masing ditambah beberapa unit management lagi yang telah melaksanakan SILIN secara sukarela.

SILIN merupakan harapan baru dalam pengelolaan hutan alam. Harapan ini berasal dari peningkatan poduksi kayu yang telah diterapkan pada jenis-jenis meranti. Pada masa yang akan datang, SILIN ini diharapkan dapat diterapkan terhadap jenis-jenis yang termasuk kayu mewah. Untuk itu, pemerintah telah menerbitkan pedoman teknis SILIN yang dapat digunakan oleh pengusaha hutan alam.  Dengan penggunaan metode SILIN ini, diharapkan kejayaan pengusahaan hutan alam yang pernah menempati posisi kedua setelah minyak bumi sekitar tahun 1970 – 1990 dapat bangkit kembali.

Dalam penerapan SILIN, tidak hanya untuk memperoleh peningkatan potensi kayu, tetapi juga akan terjadi peningkatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti sumber pangan, obat-obatan, kosmetik alami, energi terbarukan dan pemanfaatan keindahan alam untuk wisata alam. Sehingga pada akhirnya diharapkan pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan melalui SILIN ini (*)