Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI-KLHK) bekerja sama dengan PT Wana Subur Lestari (WSL) dan PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI) melakukan proyek uji coba penelitian berbasis lanskap.

Kerjasama penelitian pada skala bentang alam akan dilakukan pada areal seluas 135.164 hektare di Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) Sungai Terentang – Sungai Kapuas, Sungai Kapuas – Sungai Mendawak, dan Sungai Kualan – Sungai Laban, Kalimantan Barat.

“Penelitian produktivitas dan hidrologi terpadu secara intensif pada ekosistem gambut ini yang terbesar di dunia” kata Kepala Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto pada sambutan kick off meeting kerjasama penelitian Badan Litbang Dan Inovasi KLHK dengan PT. WSL dan PT. MTI pada hari Senin (12/08) di Jakarta.

Pilot project penelitian berbasis lanskap tersebut dirancang dalam rangka merumuskan teknik pengelolaan gambut lestari (best practices) yang mencakup aspek pencegahan kebakaran, peningkatan produktivitas tanaman, penurunan emisi karbon, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan.

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan nasional mengenai tata kelola lahan gambut.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Bidang Produksi Hutan Tanaman APHI, Soewarso mengapresiasi kegiatan kerjasama penelitian ini. “Kegiatan penelitian ini menjadi amat penting karena anggota APHI yang berada pada areal gambut cukup banyak, mencapai 100 perusahaan HTI” ujarnya.

Beberapa masukan disampaikan APHI dalam rangka menyempurnakan penelitian, diantaranya mengenai penghitungan cadangan air. “Cadangan air yang telah dihitung pada HL Mendawak untuk memenuhi kebutuhan air PT. WSL/PT. MTI bisa menjadi model implementasi dari PerMenLHK No. P.10/2019” sebut Soewarso.

Mengenai metode pemetaan gambut juga mendapatkan perhatian dimana dalam PermenLHK No. P.14/2017 tidak mengenal metode UAV. “Apabila penelitian yang dilakukan untuk pemetaan lahan gambut dengan metode UAV lebih murah dan lebih cepat, maka hasilnya dapat dijadikan masukan untuk perbaikan kebijakan dengan sistem transek sesuai P.14/2017 yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang relatif tinggi” kata Soewarso.

Terkait kebakaran hutan dan lahan, dimana pada saat terjadi karhutla tahun 2015, di HL Mendawak atau areal kerja PT. WSL/PT. MTI tidak terjadi karhutla. “Perlu digali lebih dalam informasi mengenai tinggi muka air di HL Mendawak pada tahun tersebut, bagaimana korelasinya dan apakah ada faktor penyebab lainnya seperti faktor sosial” pungkas Soewarso. (*)